3/17/2013

BHINEKA TUNGGAL IKA dan PANCASILA dalam Pemahaman yang Lebih Sederhana

Bandung sekarang tidaklah sama dengan Bandung waktu jaman kita SD, Bandung sekarang panas, Bandung sekarang egois tidak sejuk dan ramah penuh tatakrama dan kesopanan seperti Bandung tigapuluh tahun yang lalu. Bandung semakin hari semakin sempit, pesonanya terkikis dan daya tariknya pudar.

Sebuah tanda tanya besar, kenapa jadi seperti ini? Mungkin karena semakin hari jumlah penduduk semakin bertambah atau mungkin kebutuhan untuk bertahan hidup juga semakin banyak. Padahal “Pada tahun 1990 bandung pernah menjadi salah satu kota paling aman di dunia berdasarkan survey majalah Time”. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung)

Tidak berlebihan memang, karena “Ki Sunda” (masyarakat Bandung) terkenal “Someah hade kasemah” sebuah peribahasa sederhana untuk menggambarkan masyarakat bandung secara utuh. “Someah” artinya ramah, “Hade” artinya baik, “kasemah” artinya “pada kaum pendatang atau tamu.
sifat ramah dan baik hati pada kaum pendatang atau tamu, sudah menjadi budaya lokal. Bayangkan leluhurnya Ki Sunda sudah paham bahkan mengamalkan moral-moral dalam kehidupan yang berpancasila. Mereka mengerti akan arti “BHINEKA TUNGGAL IKA” dalam pemahaman yang lebih sederhana, mereka menanamkan dalam budi pekerti hingga menjadi sifat  Ki Sunda secara menyeluruh.

Satu hal lagi Ki Sunda terkenal mempunyai budaya kesopanan, toleransi yang tinggi, saling mengormati dan menghargai. 

Namun kita berbicara sekarang, dimana nilai-nilai itu semakin hari semakin terkikis. Dimana egoisme adalah dewa yang harus disembah, egoisme diatas egoisme, yang kemudian membentuk masyarakat individual. sering kita lihat seorang pemuda duduk tenang sepanjang perjalanan Kereta api lokal KRD sementara di depannya seorang nenek bersusah payah berdiri mencoba membuat dirinya seimbang dari goncangan kereta yang sempit dan berdesak desakan, memang itu bukan hal baru dan aneh tapi itulah inti permasalahannya, dimanakah keramahan, sopan santun, tatakrama, dimanakah pendidikan moral Pancasila yang sudah menjadi ciri khas ki sunda.

Belum lagi angka kriminalitas. Dari sebuah situs resmi kepolisian Jawa Barat tercatat sepanjang Januari hingga Juli 2012 wilayah hukum Polrestabes Bandung menduduki peringkat tertinggi dibanding kota-kota lainnya di Jawa Barat angka kriminalitas lebih menonjol. dari 220 kasus curas, selain Kota Cirebon, dan Kota Tasikmalaya, wilayah hukum Polrestabes Bandung termasuk katagori paling tinggi angka kriminalitasnya. (sumber : Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat. http://www.lodaya.web.id/?p=10963).

Jangan lupa di Bandung juga ada genk motor, aktivitas mereka cukup meresahkan masyarakat. Ini bertolak belakang dari hasil survey majalah time tahun 1990. Kita harus menerima Bandung bukan lagi kota teraman di dunia, bukan lagi kota “someah Hade ka Semah” yang selama ini menjadi trade mark kota Bandung.

Ki Sunda hampir kehilangan sifat leluhur mereka, budaya itu tergantikan dengan budaya formalitas, basa-basi, kosong tidak ada isi. Meski demikian kita jangan terlalu pesimis karena nilai-nilai itu belumlah hilang tinggallah peran kita sebagai generasi penerus untuk kembali melestarikan sifat luhur para leluhur, sifat yang sejalan berbanding lurus dengan pedoman Negara kita yaitu pancasila.

2/27/2013

Duhai Markonah istriku, 

Aku menatapmu saat tidurmu, lelah siangmu, rasa itu tergurat dari wajah itu, wajah cantikmu yang sudah tak cantik, wajah mudamu yang sudah tidak muda, wajah yang tidak ada senyum.
Duhai Markonah istriku, ingin ku pindahkan lelahmu ke lelahku, andai saja malam ini adalah milikku, akan ku panjangkan untuk mengurangi lelahmu, lalu kuciptakan mimpi terindah untuk membahagiakanmu….
Markonah sayang, jangan bilang ibumu aku telah menyusahkanmu… dulu aku pernah berjanji untuk membahagiakan dirimu, maaf janji itu masih belum bisa aku hadirkan untukmu…
Markonah maafkan aku merebutmu dari orang yang mencintaimu… mengajakmu ke medan perang ini, medan yang tidak ramah untukmu… kadang kau terluka, kadang kau menangis dan tersungkur… kadang kau iri, saat tetangga kita ceu Julaeha dihadihi tipi Politron 22 inc oleh kang Maman suaminya, kau hanya memandang punggungku dari balik jendela berharap aku pulang membawa hal yang sama, kau hanya menahan kata dibalik tangismu.
Aku ingin menangis untukmu, aku ingin menangis untuk diriku yang belum bisa membuat kau bahagia dalam harta…
Tiba tiba kau terjaga, melemparkan senyum manis khas dirimu…
“barusan aku bermimpi indah…” katanya
“oh ya… mimpi apah…?”
kita berdua makan karedok di taman bunga yang indah penuh bunga… kupu-kupu terbang beraneka warna, kijang muda saling berkejaran lincah, jinak dan lucu… dan kau menari india…”
Aku tertawa, Dia tertawa…
Ternyata Dialah yang telah membuat dirinya bahagia dengan cara-Nya bukan aku, bukan dengan caraku…

28 februari 2013 (02:44) dini hari

2/26/2013

Al Quthuz, Singa Gurun di Ain Jalut

Gelombang Dahsyat Tar Tar
Ilustrasi (RoL)
 Ilustrasi (RoL)

dakwatuna.com - Bayangkanlah dahsyatnya kehancuran yang diakibatkan oleh gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Jepang beberapa tahun silam. Mayat-mayat bergelimpangan. Bangunan, pepohonan, kebun, binatang ternak, sarana umum, semuanya hancur berantakan. Kota yang tadinya ramai mendadak sepi, kelam dan berubah menjadi seperti kota hantu. Seperti itulah yg terjadi dengan negeri-negeri Islam yang terbentang dari Samarkhan hingga Baghdad ketika dilewati oleh Pasukan Mongol.
Bangsa Mongol atau Tartar telah diisyaratkan kemunculannya oleh Nabi saw. Baginda saw menyebut mereka sebagai Bani Qantura dengan ciri-ciri fisik bermuka lebar dan bermata kecil. Hanya dengan kekuatan 200.000 tentara dan berlangsung hanya dalam waktu 40 hari Kekhalifahan Abbasiyah lenyap dari muka bumi.
Kejatuhan Baghdad merupakan peristiwa sangat tragis dalam sejarah kemanusiaan. Selama 500 tahun bertahta dengan segala kebesarannya Kekhalifahan Abbasiyah Baghdad luluh lantak dihancurkan. Sebanyak 1,8 juta kaum muslimin yang berada di kota Baghdad disembelih dan kepalanya disusun menjadi gunung tengkorak sebagai peringatan bagi negara-negara yang melawan kekuatan Mongol. Khalifah Sultan Al-Mu’tasim dibantai beserta 50.000 tentara pengawalnya. Sejak pembantaian itu selama 3,5 tahun umat Islam hidup tanpa Khalifah.
Ada ahli sejarah menukilkan situasi saat itu bagaimana Hulagu Khan ini melakukan pembunuhan terhadap khalifah dengan cara memasukkannya ke dalam gulungan permadani sementara pasukan Mongol menginjak-injak dengan kuda-kuda mereka. Tidak cukup dengan itu, tentara Tartar yang biadab ini memusnahkan ribuan perpustakaan yang memuat jutaan kitab- kitab, manuskrif-manuskrif sebagai khazanah peradaban di Baghdad dengan mencampakkannya ke dalam laut sehingga air laut bertukar kehitaman akibat banyaknya kitab- kitab tersebut.
Ketika itu, seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.
Siapa yang menduga bangsa primitif yang jauh dari peradaban pernah mengusai 1/2 dari daratan bumi ini. Bangsa Mongol yang nomaden memutarbalikan semua fakta sejarah. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol ini mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya Ya’juj Ma’juj pada akhir zaman.
Kengerian yang ditimbulkannya seolah belum hilang di tempat-tempat yang pernah diserbu oleh pasukan Jenghis Khan ini. Saat berkunjung ke Herat, Afghanistan, Mike Edwards mendengar komentar masyarakat tentang peristiwa yang terjadi tujuh setengah abad yang lalu itu, seolah baru saja terjadi sehari sebelumnya. “Hanya sembilan saja! Seluruh yang masih bertahan hidup di sini – sembilan orang!” seru seorang warga tua saat menggambarkan serangan Mongol ke kota itu (National Geographic, Desember 1996). Dan Herat bukan satu-satunya kota yang menerima nasib buruk dari pasukan Mongol.
Para ulama Islam ketika itu, hampir-hampir tidak mampu mencatat kronologis peristiwa serangan yang tidak berperikemanusiaan ini. Tidak pernah terjadi malapetaka sedasyat itu dalam sejarah bangsa manapun. Seperti yang terucap dari panglima perang Mongol saat pertama kali menjebol kota Baghdad, “Aku adalah malapetaka yang diturunkan Tuhan ke muka bumi untuk menghukum kalian…”
Quthuz Sang Penakluk Gelombang
Saifuddin Quthuz adalah satu di antara tokoh besar dalam sejarah muslimin. Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!
Subhanallah yang telah mengatur dengan Maha Lembut dan memperdaya dengan Maha Bijak. Tiada sesuatupun di bumi dan langit yang samar bagi-Nya.
ومكروا مكرًا ومكرنا مكرًا وهم لا يشعرون
“Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (An-Naml [27]: 50)
Quthuz –sebagaimana mamalik (budak yang dididik militer) lainnya–tumbuh dengan pendidikan agama yang benar. Semangat Islam yang kuat bergelora di dalam hatinya. Sejak kecil, ia dilatih dengan seni menunggang kuda, metode pertempuran, seluk-beluk manajemen dan leadership. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda gagah berani, mencintai dan menjunjung tinggi agamanya. Ia juga seorang yang kuat, penyabar, dan perkasa. Selain itu semua, ia juga dilahirkan dari keluarga raja.
Masa kanak-kanak Quthuz layaknya para pangeran yang lain. Hal ini membuat dirinya begitu percaya diri. Ia tidak asing dengan masalah kepemimpinan, manajemen negara dan kekuasaan. Di atas itu semua, keluarganya hancur oleh Tartar. Hal ini–tentu saja–membuat dirinya paham betul dengan bencana Tartar. Sebab orang yang menyaksikan tidaklah seperti yang mendengar.
Semua faktor ini berpadu menjadikan Quthuz seorang yang memiliki karakter sangat unik. Ia merasa ringan dengan penderitaan, tidak takut dengan para musuh bagaimanapun banyak jumlahnya atau unggul kekuatan mereka.
Pendidikan Islam dan militer, juga pendidikan untuk berpegang teguh kepada Allah, agama dan percaya diri, semua itu mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan Quthuz –rahimahullah-.
Nama Quthuz mulai muncul ke permukaan setelah terbunuhnya Raja Al-Muizz Izzuddin Aibak dan istrinya Syajarah Ad-Dur dihukum mati. Kemudian kekuasaan beralih kepada “Sultan Bocah” Al-Manshur Nuruddin Ali bin Izzuddin Aibak. Quthuz-lah yang memegang perwalian atas sultan kecil tersebut.
Quthuz meskipun ia secara real menyetir roda pemerintahan di Mesir, namun pada kenyataannya yang duduk di kursi kekuasaan adalah seorang sultan bocah. Tentu hal ini melemahkan wibawa pemerintah di Mesir dan merongrong kepercayaan rakyat kepada rajanya serta menguatkan niat musuh-musuhnya karena mereka melihat raja adalah seorang bocah.
Dengan mempertimbangkan ancaman Tartar yang menakutkan, problema internal yang mencekik, kekacauan dan pemberontakan dari mamalik bahriyyah dan ambisi para emir Bani Ayyub di Syam, maka Quthuz melihat tiada makna keberadaan “Sultan Bocah” Nuruddin Ali di kursi negara terpenting di kawasan, yaitu Mesir, di mana tiada lagi harapan untuk membendung Tartar kecuali di pundaknya.
Dari situ, Quthuz mengambil keputusan berani, yaitu menurunkan Nuruddin Ali dan ia mengambil alih kekuasaan di Mesir. Keputusan itu bukanlah hal yang aneh. Sebab sebenarnya Quthuz adalah penguasa real di Mesir. Semua orang –termasuk “sultan bocah” itu sendiri–mengetahui hal itu. Seolah-olah ada boneka lucu di mana Quthuz-lah yang menggerakan boneka tersebut. Boneka itu adalah sultan yang bocah. Apa yang dilakukan Quthuz tiada lain hanya mengangkat boneka itu, untuk memperlihatkan seorang singa gagah yang di tangannyalah peta geografi dunia akan berubah, begitu pula lembaran-lembaran sejarah lainnya.
Penggantian ini terjadi pada tanggal 24 Dzul Qaidah 657 H, yaitu beberapa hari sebelum kedatangan Hulagu di Aleppo.
Sejak Quthuz – naik ke kursi kekuasaan, ia terus mempersiapkan diri untuk menyongsong Tartar yang belum lama menghancurkan ibukota Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Lalu bagaimana Sultan Al-Muzhaffar (gelar Quthuz setelah menjadi raja) menangani situasi yang sangat krusial itu? Apa saja langkah-langkah dan persiapan yang dilakukannya untuk menghadapi serangan Tartar yang dahsyat? Dalam kurun waktu sekitar setahun (658 H), Quthuz melakukan banyak pekerjaan besar. Secara ringkas terangkum dalam kronologi sebagai berikut:
  • Quthuz memulai reformasi dalam negeri di Mesir.
  • Pengampunan terhadap mamalik bahriyyah dan penyatuan dengan bekas rival mereka mamalik mu’izziyyah.
  • Azh-Zhahir Baibars yang sempat menjadi oposisi diundang pulang ke Mesir dari Damaskus.
  • Upaya Quthuz menyatukan Mesir dan Syam lewat surat-surat untuk para emir Bani Ayyub di Syam.
  • Aleppo jatuh pada bulan Shafar, juga Damaskus pada bulan Rabiul Awwal, di bawah kekuasaan Tartar.
  • Datangnya surat ancaman Tartar untuk menyerang Mesir.
  • Quthuz memutuskan untuk memerangi Tartar.
  • Keputusan Quthuz untuk memerangi Tartar akan dilangsungkan di Palestina dan bukan di Mesir.
  • Dimulainya persiapan tentara Mesir secara ekonomi dan juga militer.
  • Dimulainya persiapan mental rakyat Mesir dengan ulama sebagai pelopornya untuk menerima ide jihad melawan Tartar.
  • Sebagian tentara Syam datang bergabung dengan Quthuz di Mesir.
  • Tentara muslim berkumpul di daerah Shalihiyah.
  • Tentara muslim bergerak menuju Palestina pada bulan Sya’ban.
  • Kemenangan muslimin di bawah Baibars atas tentara Tartar yang menjaga Gazza.
  • Perundingan dengan kaum Salib di Akka.
  • Quthuz memilih Ain Jalut untuk menjadi ajang pertempuran dengan Tartar.
  • Kemenangan muslimin di Ain Jalut yang terjadi pada 25 Ramadhan.
  • Damaskus dibebaskan dari tangan Tartar oleh pasukan yang dipimpin Quthuz pada 30 Ramadhan.
  • Aleppo dibebaskan dari tangan Tartar di bawah Baibars pada awal bulan Syawwal.
  • Quthuz kembali ke Mesir pada 26 Syawal.
  • Quthuz meninggal dunia, syahid—insyaallah.
Saifuddin Al-Muzhaffar Quthuz Rahimahullah meninggal dunia hanya lima puluh hari setelah kemenangan Ain Jalut. Kekuasaannya hanya berusia 11 bulan dan 17 hari. Tidak genap satu tahun!
Berbagai peristiwa bersejarah yang agung, persiapan yang bagus, pendidikan yang tinggi, kemenangan gemilang, hasil yang luar biasa dan dampak yang besar. Ya, semua ini dicapai kurang dari satu tahun!
Meski ia memerintah dalam masa yang sangat pendek, namun ia termasuk tokoh terbesar dunia. Karena, nilai seorang tokoh dan keagungannya tidak diukur dengan umurnya yang panjang, harta yang banyak, atau kerajaannya yang megah, namun ia diukur dengan karya-karya bersejarahnya yang mampu merubah peta sejarah dan geografi dunia. Pada saat yang sama karya-karya itu juga bernilai besar menurut mizan (timbangan) Allah.
Ia adalah seorang pembaru (mujaddid) dan teladan (qudwah) yang baik. Sejumlah nilai ideal melekat pada dirinya; sisi keimanan dan kekhusyukannya, sisi zuhud dan menjaga kehormatan dirinya, sisi kemampuan dan kemahirannya, sisi kejujuran dan keikhlasannya, sisi jihad dan pengorbanannya, sisi kesabaran terhadap diri dan kesabaran terhadap orang lain, sisi kebijakan dan rendah hatinya..
Ia seperti yang disifati oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar Al-A’lam An-Nubala’, “Ia adalah seorang prajurit pemberani, politikus, beragama, dicintai rakyat, mengalahkan Tartar, membersihkan Syam dari Tartar pada perang Ain Jalut, ia juga orang yang baik jihadnya, insyaallah. Ia adalah seorang pemuda berambut pirang, berjenggot tebal, bentuknya sempurna, ia memiliki tangan yang putih (sesuai dengan syariah-Nya) dalam berjihad melawan Tartar, maka Allah gantikan masa mudanya dengan surga dan Dia meridhainya.”
Ia adalah sosok yang disifati oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah sebagai:“Seorang yang pemberani, pahlawan, banyak berbuat kebajikan, punya kesadaran tinggi terhadap Islam dan menyadarkan rakyat dengannya. Ia dicintai rakyatnya dan mereka banyak berdoa untuknya.”
Apa arti seorang Quthuz, jika ia tidak berpegang tegung dengan syariah Allah, tidak menang dalam perang Ain Jalut berkat keteguhannya dengan syariah, dan tidak komitmen dengan jalan Allah SWT? Apa arti seorang Quthuz tanpa jalan ini??
Syekh Al-Izz bin Abdussalam, setelah kehilangan Quthuz dengan begitu cepat, mulai mengkhawatirkan umat ini. Khawatir, kalau-kalau kemenangan besar itu akan sia-sia dan umat mengalami kehancuran kembali. Setelah kematian Quthuz, sambil menangis sedih ia berkata, “Semoga Allah merahmati masa mudanya. Seandainya ia hidup lama tentu ia akan memperbaharui para pemudanya ke arah Islam.”
Namun, Quthuz memang telah memperbaharui para pemuda ke arah Islam, meski ia tidak hidup lama!
Daulah Mamalik selama kurang lebih tiga abad kemudian terus mendorong semangat muslimin dan mengangkat panji Islam. Quthuz telah meletakkan pondasi yang kokoh. Di atas pondasi inilah orang-orang lain akan membangun bangunan yang kuat. Tanpa pondasi ini bangunan tidak akan mampu berdiri.
Terakhir, Syekh Al-Izz bin Abdussalam berkomentar, “Tiada orang yang memerintah perkara muslimin setelah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah yang sebanding dengan Quthuz Rahimahullah dalam kesalehan dan keadilannya.” Bilakah muncul kembali Quthuz-Quthuz muda di zaman ini? Wallahu a’lam.
Ain Jalut, Titik Balik Gelombang Jihad
Dalam waktu yang tidak berapa lama, demi merasa telah menaklukkan Abbasiyah maka Hulagu mengirim 4 orang delegasi ke Mamluk Mesir. Delegasi ini datang dengan membawa surat dari Hulagu Khan kepada Al Muzhaffar Quthuz. Surat itu berbunyi :
“Dari Raja Raja Timur dan Barat, Khan Agung. Untuk Quthuz Mamluk, yang melarikan diri dari pedang kami. Anda harus berpikir tentang apa yang terjadi pada negara-negara lain dan tunduk kepada kami. Anda telah mendengar bagaimana kami telah menaklukkan kerajaan yang luas dan telah memurnikan bumi dari gangguan yang tercemar itu. Kami telah menaklukkan daerah luas, membantai semua orang. Anda tidak dapat melarikan diri dari teror tentara kami. kemana Anda lari? Jalan apa yang akan Anda gunakan untuk melarikan diri dari kami?
Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras gunung-gunung, tentara kami banyak seperti pasir. Benteng tidak akan mampu menahan kami, lengan Anda tidak dapat menghentikan laju kami. Doa-doa Anda kepada Allah tidak akan berguna untuk melawan kami. Kami tidak digerakkan oleh air mata atau disentuh oleh ratapan. Hanya orang-orang yang mohon perlindungan akan aman. Mempercepat balasan Anda sebelum perang api dinyalakan.
Menolak dan Anda akan menderita bencana yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid Anda dan mengungkapkan kelemahan Tuhanmu, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak dan orang tua Anda bersama-sama. Saat ini Andalah satu-satunya musuh yang mesti kami hadapi.”.
Setelah membaca surat tersebut yang isinya jelas-jelas melecehkan kedaulatan Islam karena hanya memberikan dua opsi, menyerah atau berperang. Saifuddin Qutuz tidak gentar sedikitpun, malah beliau dengan berani menempeleng delegasi Mongol itu dan membunuh mereka dan kepala mereka digantung di Bab Zuweila, salah satu pintu gerbang Kairo. Dengan segera ia menggerakkan pasukannya dan memancing Mongol untuk bertempur di Ain jalut.
Quthuz melakukan itu tidak melanggar kaidah Islam yang melindungi delegasi asing yang melakukan tugas negosiasi. Karena para ahli sejarah menyatakan bahwa kedatangan delegasi Mongol tersebut bukan sekadar mengantar surat Hulagu Khan an sich, tetapi tertangkap tangan melakukan tindakan sebagai mata mata tentera Tartar.
Sebagian dari pembesar istana merasa takut dan ingin menarik diri dari dukungan, karena merasa Mesir ketika itu masih belum siap untuk menghadapi tentara Mongol yang telah menguasai wilayah yang cukup luas (dari Korea hingga Polandia hari ini). Quthuz mengumpulkan para pembesar-pembesar dan para panglima lalu berkata kepada mereka, “Wahai pemimpin kaum Muslimin! Kamu diberi gaji dari Baitul Mal, sementara kamu tidak mau berperang. Siapa yang memilih untuk berjihad, mari bersamaku. Siapa yang tidak mau berjihad, pulanglah ke rumahnya masing-masing. Allah akan mengawasi kalian. Sungguh dosa kaum Muslimin yang dilecehkan kehormatannya akan ditanggung oleh orang yang tidak ikut berjihad.”
Kata-kata Quthuz ini menjadi tamparan dan akhirnya mereka memilih untuk berjihad bersama Quthuz.
Pembiayaan perang yang tidak sedikit menjadi masalah ketika itu, dibutuhkan biaya besar untuk perbaikan benteng, renovasi jembatan, penyediaan peralatan perang dan logistik. Quthuz mengumpulkan para menteri negara untuk bermusyawarah. Kas negara betul-betul tidak mencukupi maka pilihan yang ada adalah menarik dana dari rakyat dan harus dilakukan dengan segera.
Tetapi Qutuz memerlukan dukungan para ulama untuk mengeluarkan fatwa. Tanpa fatwa Qutuz tidak akan melakukannya. Umat Islam di Mesir saat itu tidak mengenal pungutan selain hanya zakat. Diantara yang dipanggil ketika itu adalah seorang ulama yang bernama Al-Izz bin Abdis Salam Al-Izz bin Abdis Salam telah sepuh berumur 81 tahun dan terkenal karena ketegasannya. Beliau mengeluarkan fatwa yang cukup tegas:
“Apabila negara diserang musuh, maka wajib atas dunia Islam untuk memerangi musuh itu. Harus diambil dari rakyatnya harta mereka untuk membantu peperangan dengan syarat bila tidak ada asset yang tersimpan di dalam Baitul Mal. Maka setiap kalian (penyelenggara pemerintahan) hendaklah menjual seluruh asset yang dimiliki dan tinggalkan untuk diri kalian hanya kuda dan senjata saja. Kalian dan seluruh rakyat adalah sama di dalam masalah ini. Adapun tentang mengambil harta rakyat sementara pimpinan tentara masih memiliki harta dan peralatan mewah, maka penarikan harta rakyat tidak menjadi keharusan.”
Fatwa yang cukup tegas ini disambut dengan ketegasan Qutuz pula. Beliau menginstruksikan agar semua pembesar dan pimpinan perang menyerahkan seluruh asset yang mereka miliki sesuai fatwa tersebut. Hasilnya, Mesir menjadi negara yang kaya. Penyerahan harta oleh para pembesar dan pimpinan diikuti pula secara serempak oleh seluruh rakyat. Mereka menyumbangkan harta untuk memenuhi tuntutan pembiayaan perang. Fatwa Al-Izz bin Abdis Salam sangat ampuh menyelesaikan masalah keuangan dengan segera.
Kemudian Al- Qutuz segera memobilisasi tentaranya maka terbentuklah pasukan berjumlah 20. 000 orang tentara. Mereka berunding dan akhirnya memutuskan untuk menyerang tentara Mongol di luar Mesir. Ini adalah strategi ofensif dalam menghadapi tentara Mongol.
Para tentara Allah ini berangkat ke luar wilayah Mesir dan terus bergerak ke arah Palestina. Dan bertemulah mereka dengan pasukan Tartar yang dikomandani oleh Kitbuqa di Ainun Jalut. Maka terjadilah pertempuran dahsyat antara kedua belah pihak.
Saat pertempuran sengit berlangsung, al- Qutuz membuka topeng besinya dan melaju dengan kudanya ke tengah arena pertempuran sambil memberi motivasi kepada seluruh tentaranya agar berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memburu syurga Allah. Teriakan takbir bergema di sepanjang pertempuran dan al Qutuz terus merangsek di tengah- tengah musuh.
Pada pertempuran Ain Jalut ini, al- Qutuz didampingi isterinya Jullanar yang turut menyertai dalam rombongan pasukannya. Ketika Jullanar terluka parah, al- Qutuz memapahnya sambil berkata, ”Wahai Kekasihku.” Jullanar dalam keadaan terluka parah tetap memberikan semagat kepada suaminya. Dia pun membalas ucapan mesra suaminya dengan mengatakan, ”Wahai al-Qutuz lebih cintalah kamu kepada jihad ini.” Lalu isterinya menghembuskan nafas terakhir dan gugur sebagai syahidah.
Dalam kecamuk perang yang dahsyat, kuda yang ditunggangi al Quthuz terbunuh. Dengan sigap beliau langsung melompat dan berlari menghadang musuh. Saat itu ada seorang prajurit yang menyaksikan kuda al Quthuz terbunuh. Dengan tanpa dikomando sang prajurit menawarkan kuda tunggangannya kepada al Quthuz.
“Saya tidak ingin menghalangimu untuk memberikan manfaat kepada orang lain.” Al Quthuz menghargai tawaran prajuritnya sebagai sebuah kesetiaan. Semangat jihadnya yang tinggi menjadi api yang membakar semangat para tentaranya untuk memburu syahid yang selalu diidam-idamkannya.
Qutbuddin Al-Yunaini di dalam Al-Bidayah Wan Nihayah (658H) mengatakan bahwa al Qutuz sebelum menjadi seorang Sultan pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw, dalam mimpinya Nabi saw mengatakan kepadanya bahwa dirinyalah yang akan menguasai Mesir dan akan menang dalam perang melawan Mongol.
Setelah itu al- Qutuz terus maju ke medan pertempuran hingga akhirnya pada hari Jumat, 25 Ramadhan 658H, bertepatan dengan 3 September 1260M tentara- tentara Allah ini berhasil merebut kemenangan atas tentara Tartar di Ain Jalut. Padahal selama ini tentera Tartar tidak pernah ada cerita dikalahkan dalam setiap pertempuran. Dan andaipun kalah di beberapa pertempuran, maka mereka akan mampu menebus kembali kekalahan mereka. Akhirnya hancurlah pasukan Tartar di ujung mata pedang kaum muslimin dan tidak pernah mampu lagi menebus kekalahan mereka di Ain Jalut.
http://www.dakwatuna.com/2013/02/28133/al-quthuz-singa-gurun-di-ain-jalut/#axzz2LzYu8Gum

2/20/2013

Aku selalu menantimu,

Aku selalu menantimu, disini… dihalaman rumah kita, setelah beres memasak, beres-beres rumah, membuatkan teh manis dan mandi tentunya… aku ingin wangi dan tampil cantik dihadapanmu, sambil kau menikmati teh hangat yang telah kuhidangkan seperti biasa…
Ya aku selalu menantimu, menanti kepulanganmu…
Biasanya saat kau datang adalah mencium keningku, menggodaku, kemudian protes karena sayur yang kumasak terlalu manis, kau tidak suka semua yang terlalu manis… meski kau juga tidak pernah suka sayur yang berasa asin, hihi…aku tersenyum sendiri mengingat semua itu… 
Sebuah daun kering melayang kemudian terjatuh lalu menggelinding tersapu angin yang belum puas mempermainkannya, aku mengejar untuk memungutnya kemudian membuangnya ketempat sampah… mengingat kau sangat rewel kalau melihat sampah berserakan, meski itu hanya sebuah daun kering dari pohon jambu milik kita, kadang aku jengkel, terlalu capek untuk mengurus semua itu sendiri sementara kau hanya bisa protes jarang sekali beraksi, dasar laki-laki….
Biasanya aku bersandar dibahu mu yang lebar, menceritakan semua yang kualami selama kau ditempat kerja, kau pendengar yang baik, pengkritik juga, konyol suka berpura pura bodoh dan kadang “nyebelin…” karena sabelum aku selesai bercerita kau sudah tidak lagi bersamaku, kau sudah terlelap dalam buaian mimpi…. Tertidur pulas dipangkuanku menikmati pijatan tanganku yang lincah di kakimu, sekali lagi aku tersenyum sendiri.
Angin sore membelai baju hangatku, matahari sudah meredup… membisikan sebuah kenangan dari masa lampau…
Seorang pemuda tampan memelukku dari belakang, membimbingku masuk kedalam rumah sederhana milik kita, dia berkata setengah berbisik…
“sudahlah bu, hari sudah sore… nanti ibu masuk angin….” Tangan kekarnya memapahku penuh kasih sayang, dia hampir menggantikan peranmu…
dia adalah anakmu… anak kita…. Dia sudah memberikan kita dua orang cucu, andai saja kau sempat melihat mereka, sempat membelai mereka… dan mendengar mereka ribut berebut mencuri perhatian kita, menyebut kita kakek dan nenek, andai saja kau tidak pernah pergi meninggalkan kami…
Dan kau sudah lama pergi… tidak akan pernah kembali kerumah ini, rumah yang kau bangun dengan cinta, rumah yang telah memberikanku kebahagian, rumah yang menjadi saksi kepergianmu…
Aku rindu kecupanmu di keningku, aku ingin mencium tanganmu sekali lagi, aku rindu bersandar dibahumu dan menceritakan pengalamanku selama kau pergi, sayang kau tidak akan kembali… tidak terasa air mataku jatuh ketangan kekar anakmu….
21 februari 2013 (01:22 malam)

Hening Kudapatkan Saat Aku Menginginkannya


Aku menikmati saat-saat seperti ini, saat sendiri dalam keramaian, saat mereka semua tidak mengenaliku, saat mereka hanya melihatku kemudian, acuh…
Aku menikmati, saat pikiranku melayang meloncat lincah menangkap imaji, menyimpannya, merangkaikan kata indah untuk setiap pengalaman yang kurasakan.
Aku menggelikan untuk sebagian orang, aku membosankan untuk semua yang membenci kesendirian…
Aku menghela napas, membuat koma dalam imajinasiku…
Hening ini, kurasakan bukan dalam sepi… hening kudapatkan saat aku menginginkannya, dan ramai bisa kudapatkan saat senyap… saat seekor jangkrikpun malas untuk bersuara.
Aku menguap, dan membuat titik.
21 februari 2013